Sonntag, Juni 18, 2006

Adakah wisata bahari di lautan Nusantara?

Boleh jadi moda transportasi berlibur klasik untuk keluarga Indonesia yang terkenal adalah naik delman atau naik kereta api. Kepopuleran keduanya terabadikan dalam lagu kanak-kanak. Bagaimana dengan kapal laut?

Sudah lama tidak terdengar adanya kapal pesiar milik negeri sendiri yang mengarungi lautan Nusantara, semenjak kapal pesiar Awani Dream, cruise ship ukuran sedang yang dioperasikan di Indonesia pada era Orde Baru tidak lagi beroperasi. Padahal sejak masih bernama Hindia Belanda, perairan Indonesia merupakan perairan kapal pesiar. Kapal-kapal mewah dengan bendera negara-negara Skandinavia, Inggris, Amerika, bahkan Federasi Rusia dan negara-negara lain sudah sejak awal masa kemerdekaan dari waktu ke waktu mampir ke Indonesia. Itu semua dapat kita baca dalam catatan berkala wisata dari zaman Hindia Belanda yang ada di Perpustakaan Nasional.

Namun kehadiran mereka sekarang ini makin jarang. Ini mungkin disebabkan minimnya kemampuan pelabuhan-pelabuhan kita memberikan fasilitas pelayanan untuk kapal-kapal tersebut dan kepada para penumpangnya yang turun ke daratan. Saking lalainya kita terhadap perairan Nusantara sehingga sempat diusulkan oleh Singapura supaya perairan Nusantara diberi nama Aseanaria. Padahal perairan ini notabene adalah milik sah bangsa kita. Singapura seakan-akan menginginkan perairan Indonesia atau Nusantara itu dilupakan saja, toh, bangsa pemiliknya pun tak peduli untuk memanfaatkannya secara optimal.

Buktinya, lebih banyak kapal barang milik asing yang beroperasi di perairan kita. Dan hingga sekarang kita cuma meninabobokan diri karena kita memiliki jenis kapal tradisional Phinisi. Kapal-kapal pencari ikan yang lalu lalang di perairan kita pun tidak mampu menandingi jumlah dan kualitas serta kecanggihan kapal-kapal asing yang menjarah jutaan ton ikan kita tiap tahunnya. Kita biarkan kapal-kapal asing menguras ikan kita, dalam nilai produksi miliaran dolar tiap tahunnya. Kita hanya bisa hitung kerugian, sebab kita sendiri tidak mampu memanfaatkannya secara optimal.

Sudah sejak sekian tahun lalu sebagian dari kapal-kapal pesiar (cruise ships) ukuran sedang yang semula beroperasi di sekitar Laut Tengah dan Karibia, dioperasikan di Asia Timur, dengan pelabuhan-pelabuhan singgah utamanya antara lain Kuala Lumpur, Singapura dan Hongkong. Mereka meninggalkan Laut Tengah dan Karibia karena makin jenuhnya kedua perairan tersebut baik yang disebabkan pencemaran maupun menipisnya minat turis untuk bercengkerama di sana. Dan sudah sejak sekian tahun pula pelabuhan-pelabuhan Kuala Lumpur, Singapura dan Hongkong melengkapi diri dengan fasilitas-fasilitas khusus untuk kapal pesiar, termasuk untuk para penumpangnya. Dan para pembeli dan penyewa kapal pesiar dari Laut Tengah dan Karibia itu sesungguhnya menunggu-nunggu kapan mereka bisa beroperasi di sekitar Nusantara untuk menyinggahkan turis mereka di daerah-daerah tujuan wisata kita seperti Bali, Toraja, Jawa dan Sumatra, misalnya.

Walaupun Priok sudah memiliki pelabuhan khusus untuk kapal pesiar, dan hingga kini secara kontinu disinggahi kapal-kapal pesiar dari hampir semua penjuru dunia, tidak demikian halnya dengan Medan, Surabaya, atau Makassar. Apalagi pelabuhan-pelabuhan lain yang lebih kecil. Padahal sudah sejak sekitar 30 tahun lalu, pada permulaan tahun 1970-an kapal pesiar Prinsendam milik Holland America Line melayani perairan Indonesia secara reguler dengan pelabuhan-pelabuhan singgah Tanjung Priok, Medan, Padangbai (Bali) dan lain-lain. Di Medan para penumpang diberi kesempatan berwisata ke Danau Toba, di Semarang para turis singgah untuk melihat Yogyakarta dan Candi Borobudur. Namun semenjak terbakarnya Prinsendam di perairan antara Indonesia dan Filipina, Holland America Line tidak pernah melayani perairan Nusantara secara teratur lagi.

Sesungguhnya Indonesia mampu membuat kapal-kapal modern dan nyaman seperti kapal pesiar. Beberapa negara Skandinavia sekian tahun lalu pernah memesan beberapa kapal feri yang sekelas dengan kapal pesiar kepada salah sebuah pabrik kapal di Indonesia. Mengapa kemampuan ini tidak digunakan untuk membangun armada kapal pesiar yang memiliki potensi ekonomi besar di perairan Nusantara? Dunia menilai perairan kita ideal untuk diarungi kapal-kapal pesiar semenjak lama. Kenapa kita nyaris tak peduli?


Sumber:
Winarta Adisubrata, "Kapan Perairan Indonesia Jadi Ajang Wisata Kapal Pesiar Lagi?", Harian Sinar Harapan, 3 Maret 2002.

Donnerstag, Juni 08, 2006

Lallai Baka Ellau dari Pagerungan

Semenjak 1910

Sekilas Pulau Pagerungan Kecil tidak memperlihatkan keistimewaan di antara beberapa pulau yang ada di sekitarnya. Deretan pohon kelapa yang diselingi pohon-pohon pisang tampak mendominasi jenis tanaman di pulau, yang memiliki jumlah penduduk 4.469 jiwa tersebut.

Berada di antara gugusan Kepulauan Kangean, pulau ini pun tidak termasuk dalam daftar tujuan wisata sebagaimana Pulau Madura yang berada di bagian barat, maupun Pulau Bali yang berjarak 60 mil di bagian selatan. Meski secara administratif pulau ini masuk Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, namun secara geografis keberadaan Pulau Pagerungan Kecil lebih dekat ke Pulau Bali.

Namun dari kebersahajaan pulau yang baru dikenal dan dihuni penduduk sejak awal 1910 tersebut, kini telah terukir sebuah momen sejarah baru kemaritiman Indonesia. Di pulau inilah sebuah replika kapal tradisional yang digunakan nenek moyang bangsa Indonesia untuk berlayar sampai ke Afrika Selatan beberapa abad lalu dibuat oleh penduduk setempat.


Lallai Baka Ellau

Adalah As'ad Abdullah, seorang pembuat kapal tradisional warga Pagerungan Kecil, yang telah mengangkat nama Pulau Pagerungan di media nasional dan internasional. Nick Burmingham yang telah mengunjungi sejumlah ahli pembuat kapal tradisional di seluruh Indonesia, yakin bahwa As’ad mampu melaksanakan pembuatan replika kapal bernilai sejarah tersebut.

Sementara dari sisi rancang bangun, As'ad – kini berusia 72 tahun – menjelaskan bahwa kapal Borobudur tersebut mengambil desain dari corak perahu Soppe yang digunakan oleh suku Bajo sekitar abad ke-8. Bahkan untuk nama kapal itu pun digunakan bahasa Bajo yaitu Lallai Baka Ellau, yang berarti “berlari bersama Matahari”. Kelak kemudian hari ketika peresmian pelayaran ekspedisi Borobudur, Presiden Megawati memberi nama Samudraraksa kepada kapal karya As’ad dan kawan-kawan tersebut, menggantikan nama indah Lallai Baka Ellau.

Menurut Nick, nama Lallai Baka Ellau itu dipilih karena misi ekspedisi yang dijalankan adalah menuju arah barat, membuat kapal tersebut seolah-olah tengah mengejar Matahari atau Ellau. Sebagai catatan, salah satu bukti telah terjadi hubungan dagang antara Madagaskar dan Nusantara di masa lalu adalah adanya kesamaan sejumlah nama benda di antara kedua bangsa, termasuk Ellau sendiri yang juga berarti Matahari dalam bahasa Madagaskar.


Pulau Sapeken, sebuah metropulau


Ibukota Kecamatan Sapeken adalah Pulau Sapeken. Kecamatan tersebut terdiri dari 33 pulau kecil dan 9 desa. Sebanyak 5 pulau yang tidak terhuni warga. Pulau Sapeken luasnya hanya sekitar 3,5 km persegi dengan jumlah penduduk 11.343 KK. Saking padatnya penduduk Pulau Sapeken, pendatang menyebutnya sebagai pulau metropolis. Nyaris tidak lahan kosong, semuanya dipadati rumah penduduk, layaknya kota metropolitan. Selebihnya hanya ada lapangan olahraga dan ditambah satu hektare tanaman kelapa. Kendati pulau kecil, Pulau Sapeken mempunyai tiga masjid. Kehidupan keagamaan masyarakat Sapeken tergolong dinamis, ada beberapa aliran dan organisasi masyarakat Islam seperti NU, Persis, Muhammadiyah dan lainnya. Umat non muslim hanya 0,5 persen saja, kerukunan antar umat beragama tergolong sangat baik.

Meski termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Sumenep, namun masyarakat di sana tidak ada yang menggunakan bahasa Madura. Ada beberapa bahasa yang digunakan masyarakat dalam sehari-hari. Pertama, Bahasa Indonesia, Bahasa Bajo, Bugis, Makassar dan Mandu (semuanya Sulawesi). Hanya sejumlah orang saja yang bisa bahasa Madura ala Sumenep. Penduduk Sapeken dari sejarahnya memang pendatang dari daerah Makassar. Ketika itu, orang kampung Bajo Sulawesi Selatan berlayar mencari ikan dan menetap di kepulauan Sapeken.

Penghasilan utama penduduk Sapeken adalah mencari ikan dilaut. Sayangnya sistem penjualan hasil tangkapan masih tradisional. Minimnya perhatian pemerintah memaksa sebagian penduduknya untuk merantau jauh ke luar negeri. Sepintas taraf ekonomi masyarakat kepulauan Sapeken boleh jadi melebihi kesejahteraan ekonomi masyarakat daratan Sumenep. Kendati masyarakat hidup di pulau-pulau kecil dan jauh dari keramaian, kebutuhan ekonomi masyarakat selalu tercukupi. Ini berbeda, dengan kondisi masyarakat daratan yang selalu mengharap bantuan-bantuan dari pemerintah, serupa Jaring Pengamanan Sosial (JPS).

Masyarakat kepulauan tidak begitu suka akan bantuan-bantuan yang bersifat memanjakan masyarakat dan tidak mengajak masyarakat untuk kreatif menggali potensi ekonomi kepulauan. Apalagi, bantuan semacam itu bertolak belakang dengan kinerja nelayan yang dikenal pantang menyerah sebelum sukses. Seperti usaha pelaut atau nelayan yang sebelum berhasil menangkap ikan tidak mau pulang ke darat. "Di kepulauan banyak potensi. Kenapa masyarakat tidak dibekali keterampilan untuk dibina, seperti budi daya ikan kerapu," ujar salah seorang penduduk.

Kesehatan dan pendidikan merupakan masalah serius di masyarakat kepulauan. Alat transportasi tenaga medis dan tenaga pendidik sangatlah minim dan hanya mengandalkan perahu saja. Guru-guru dari kabupaten biasanya hanya datang sebentar untuk menengok kondisi sekolah, namun tidak pernah betah berlama-lama tinggal di sana.

Transportasi tampaknya menjadi kendala utama bagi pengembangan potensi wisata di pulau yang penduduknya menggunakan bahasa suku Bajo tersebut, termasuk bagi 29 pulau lainnya yang berada di Kecamatan Sapeken. Perjalanan laut Sapekan-Makassar bila melalui perahu mesin mencapai 24 jam, Sapaken-Bali 10 jam, Sapeken-Banyuwangi memakan waktu 12 jam. Sementara ke Sumenep warga Sapeken harus ke Pulau Kangean sekitar 5 jam. Ditambah dari Kangean ke Kalianget naik kapal ferry Kartika sekitar 8 jam.

Gugus Kepulauan Kangean dikaruniai kandungan minyak-bumi di bawah tanahnya. Saat ini ada sebuah perusahaan pertambangan gas dan minyak bumi nasional tengah beroperasi di sana, sebuah potensi yang semakin membangkitkan keinginan penduduk setempat untuk menjadi sebuah daerah otonom. Sebuah kasus yang sekarang lazim terjadi di berbagai tempat di pelosok tanah air akibat kurangnya perhatian pemerintah melalui pembangunan berwawasan maritim dan kesadaran untuk menentukan nasib sendiri yang semakin bergejolak.


Sumber:

[1] Dari Catatan Perjalanan Kepulauan Sumenep. Harian Jawa Pos, 2 Desember 2000.
[2] Mengungkap Kedigdayaan Maritim dari Pangerukan. Harian Bisnis Indonesia, 21 Juni 2003.

Samstag, Juni 03, 2006

Sejuta Cerita Samudraraksa 5

Melintasi katulistiwa: keunggulan ilmu maritim nenek moyang kita

Awak kapal Samudraraksa datang dari berbagai bangsa. Ada yang dari Australia, Selandia Baru, Inggris, Swedia, dan Prancis. Total ada 27 orang yang tergabung dalam eskpedisi ini, 10 orang diantaranya berkebangsaan Indonesia.Persahabatan antarbangsa pun muncul dengan tulus. Para awak kapal yang bule juga belajar makan mi instan. Mula-mula mereka tampak kagok juga nyantap mie instan. Tapi lama-lama kuat juga. Ekspedisi Borobudur tercatat menghabiskan 224 dus mi instan! Luar biasa.

Saat perjalanan itu memasuki bulan puasa, para bule juga membantu menyiapkan sahur atau penganan berbuka puasa. Saat lebaran, kapal Samudraraksa kebetulan sedang merapat di Cape Town, Afrika Selatan. Cuma sayangnya, di sana tidak ada masjid, sehingga awak kapal yang muslim tidak salat id. Untuk merayakan hari besar itu, mereka mengunjungi Taman Safari Hluhluwe. Dan sebagai pengganti ketupat, mereka membeli cake.

Bagi para pelaut Indonesia, mereka punya pantangan tertentu selama berlayar. Misalnya, awak kapal tak boleh berhubungan intim selama berlayar. Termasuk untuk pasangan suami-istri. Entah kebetulan entah memang kualat, kapal Samudraraksa berkali-kali mengalami kejadian tak mengenakkan saat pantangan itu dilanggar, kala menjalani leg ketiga. Dua kali propeler atau baling-baling patah, generator rusak, bahkan pernah pula tertabrak kapal saat bersandar di Pelabuhan St. Helena. Berkali-kali Samudraraksa harus merapat ke pelabuhan yang tak ada dalam jadwal.

Usut punya usut, ternyata ada awak kapal yang bersebadan. Karena berbeda latar belakang budaya, awak kapal yang bule tak peduli pantangan berhubungan intim saat berlayar. Itulah Pengalaman yang paling berharga dari perjalanan ini, kata Kapten Putu. Sehebat apa pun manusia, kadang ada hal-hal yang sulit dijelaskan namun terjadi. Sehingga larangan untuk berbuat hal-hal yang tidak semestinya, jangan sekali-kali dilanggar jika memang mau selamat.

Bagi pelaut tradisional pantangan-pantangan atau larangan yang digariskan orang-orang tua dulu selalu dicoba untuk dipatuhi. Salah satunya adalah menceritakan kejadian-kejadian aneh yang mungkin dialami di laut. "Memang suka ada yang aneh-aneh, tetapi kata orang- orang tua kalau semakin diceritain, yang aneh-aneh semakin banyak datang," kata Sudirman, awak kapal dari Pagerungan yang juga salah seorang tukang kayu pembuat kapal tersebut. Sudirman percaya betul ilmu laut yang dimiliki nenek moyang zaman dahulu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang kebanyakan dipunyai pelaut sekarang. Karena itu, dia tak heran kalau abad-abad lalu sudah ada perjalanan dari Indonesia ke Afrika. "Bukan masalah peralatan atau kapalnya yang lebih bagus, tetapi ilmunya yang lebih baik," demikian ujarnya.

Muhamad Abduh, awak kapal tertua yang berusia 50 tahun, mengaku sempat rindu dengan keluarga. Kendati berlayar adalah bagian dari hidupnya sebagai nelayan, suami dua istri, ayah enam anak, dan kakek dua cucu ini merasa perjalanannya kali ini luar biasa panjang. Abduh yang mempunyai hubungan darah dengan Sulhan dan kerabat Sudirman tak mempunyai cara khusus untuk membunuh rasa rindu. "Begitu kepikiran keluarga, langsung saya jalan-jalan di kapal. Ya, cuma itu yang saya bisa lakukan," katanya. Rokok dan kopi tak pernah absen dari menu sehari-hari yang dia nikmati selama perjalanan. "Minimal sehari tiga gelas kopi, rokok habis sebungkus sehari," ucapnya. Seperti Sulhan dan Sudirman, Abduh diikutsertakan dalam ekspedisi ini karena pengalamannya sebagai pelaut maupun selaku ahli pembuat kapal.

Di leg keempat, menjelang masuk Acra, sebagian awak kapal menjalani ritus yang biasa dilakukan para pelaut saat melintasi garis khatulistiwa. Dari 15 awak kapal, hanya lima orang yang pernah melewati garis khatulistiwa. Mereka inilah yang kemudian memimpin upacara khusus. Muhammad Abduh menjadi Raja Neptunus. Sedangkan Kapten Putu berperan sebagai bangsawan.

Para pelaut pemula disuruh makan nasi basi dicampur dengan segala macam sayuran. Minumannya adalah Nutrisari dicampur air laut dan sambal botol. Rasanya tentu tak keruan. Anehnya, tidak ada di antara para peserta upacara yang mabuk. Mungkin karena perasaan senang telah melewati garis khatulistiwa. Sebagai penutup upacara, rambut mereka dipotong sedikit, tanda telah menjadi pelaut tulen.


Dari Borobudur kembali ke Borobudur

Setelah melakukan perjalanan bersejarahnya sejak 15 Agustus 2003 hingga 23 Februari 2004, kapal Samudraraksa akhirnya menjadi kenangan. Setelah mengarungi lautan selama hampir tujuh bulan, kapal ini dimuseumkan dan menjadi warisan kekayaan bangsa. Tempat peristirahatan terakhir Samudraraksa terletak di taman Candi Borobudur. Pemilihan Borobudur sebagai lokasi museum bukanlah tanpa alasan. Seperti namanya, yaitu ekspedisi Borobudur, kapal ini berawal dari Borobudur dan berakhir di Borobudur.

Dampak positif ekspedisi Borobudur tersebut jelas sangat besar. Selain menumbuhkan kebanggan maritim kepada bangsa Indonesia, juga berdampak nyata terhadap dunia pariwisata. Harian Balipos pada tanggal 31 Desember 2003 melaporkan adanya peningkatan arus kunjungan turis Afrika untuk berlibur ke Indonesia, terutama Bali sebagai tujuan wisata yang paling banyak digemari.


Sumber:

[1] The Borobudur Ship Expedition, official website: http://www.borobudurshipexpedition.com/
[2] Ekspedisi Kapal Borobudur Tingkatkan Kunjungan Turis Afrika ke Bali. Harian Balipos, 31 Desember 2003.
[3] Ekspedisi Kapal Borobudur Dapat Memberdayakan Budaya. Majalah Tempo, 03 Juli 2003.
[4] Ekspedisi Borobudur Napak Tilas Memperkaya Batin. Majalah Gatra edisi 20, 26 Maret 2004.
[5] Ekspedisi Mimpi Mereka-reka Sejarah! Harian Kompas, 16 Agustus 2003.
[6] Niken Maharani, Gagah Berani Mengarungi Samudra. Harian Kompas, 08 Maret 2004.
[7] Pelabuhan Terakhir Samudraraksa di Borobudur. Harian Republika, 26 Agustus 2005.
[8] Perahu Zig-zag Melawan Angin. Harian Kompas, 30 Oktober 2003.

Freitag, Mai 26, 2006

Sejuta Cerita Samudraraksa 4

Menuju Madagaskar: pelaut Muslim berbicara dengan angin

Pelayaran kapal Samudraraksa dari Seychelles menuju Madagaskar sangat berat. Angin sering mati. Kalaupun ada, angin pun bertiup dari arah depan, membuat seluruh awak perahu harus bekerja keras. Pernah selama dua hari angin mati, artinya tidak ada tiupan angin yang bisa menggerakkan perahu tersebut. Motor tempel di kiri kanan perahu hanya sedikit menolong, maklum tenaganya tidak seberapa. Kalau sudah begini, Muhammad Abdu, kepala dusun yang sudah banyak berlayar segera berbicara dengan angin.

Manusia tidak boleh mendahului kehendak-Nya, begitu prinsip Abdu. Ditegaskannya bahwa manusia harus bersikap wajar, "Jika merasa senang janganlah terlalu senang, tetapi jika merasa susah jangan terlalu susah". Dalam setiap awal perjalanannya, ia selalu melafalkan Surat Al An-aam yang intinya kepasrahan kepada Tuhan. Doa pasrah inilah yang membuatnya tegar dan yakin bahwa Tuhan selalu mendampinginya.

Jika ia berbicara kepada angin, sebenarnya ia berbicara pada dirinya sendiri. Ia berbicara dalam bahasa Bajo, intinya minta agar angin datang dan menolongnya. Awak yang lain selalu tersenyum kecut mendengar ia berbicara kepada angin. Apalagi bagi para awak kapal asing yang tentunya tak masuk di akal mereka walau akhirnya angin pun datang.

Perbedaan budaya ini sempat sulit dipadukan. Orang-orang Bajo yang begitu akrab dengan laut, bisa mendeteksi angin dengan cuping telinganya. Mereka tahu angin akan datang dari arah mana dengan mengandalkan daun telinga. Awan yang berarak bisa menjadi tanda apakah hujan juga membawa pusaran angin. Tetapi, bagi awak kapal berkebangsaan asing, mereka berpegang pada peta, kompas, kecepatan angin, dan ramalan cuaca. Mereka tidak mau lepas dari kompas, sementara para pelaut tradisional Nusantara lebih berpegang pada letak bintang-bintang di langit.

Pelayaran Seychelles-Madagaskar merupakan ujian untuk membuktikan mana yang benar. Angin yang datang dari depan tak bisa ditahan dengan layar perahu walau menggunakan motor tempel. Akhirnya awak perahu asing menyerah dan Abdu beserta rekan-rekannya berhasil melakukan perjalanan zig-zag dengan memindah-mindahkan arah layarnya. Layar dipasang dalam sudut tertentu agar angin menyenggol dan membawa perahu ke kiri atau ke kanan.

Pekerjaan ini melelahkan karena memindahkan layar untuk mendapatkan embusan angin dengan arah yang kita inginkan bukanlah sederhana. Pertama, layar diturunkan kemudian digeser, baru dinaikkan lagi dan dicari sudut yang pas. Itu dilakukan berulang-ulang sehingga salah satu layar robek dan tali pengikat layar putus. Semua pekerjaan itu menjadi tanggung jawab awak dari Pagerungan karena hanya merekalah yang mampu dan mengerti. Awak yang lain hanya membantu sebagaimana diminta oleh pelaut asli tersebut melalui penerjemah.

Semua ini membuat perjalanan menjadi lambat walau akhirnya selamat sampai tujuan, Pelabuhan Mahajanga, 600 kilometer barat laut Antananarivo, ibu kota Madagaskar. Jarak yang hanya sekitar 700 mil itu harus ditempuh dalam 17 hari, bandingkan dengan Jakarta-Seychelles yang 3.300 mil dalam 26 hari.

Hari itu tercapai sudah alur perdagangan rempah-rempah Indonesia-Madagaskar. Setelah memperbaiki mesin motor tempel yang rusak dan mengikuti berbagai acara yang disiapkan KBRI Madagaskar, tanggal 25 Oktober perahu bertolak ke Afrika Selatan. Rute ini paling berbahaya karena harus melampaui Tanjung Harapan yang merupakan tempat pertemuan arus Samudera Hindia dengan Samudera Atlantik. Beberapa awak turun, termasuk Muhammad Habibie yang baru naik dari Seychelles, tanpa ada penggantian. Kini awak kapal hanya tinggal bertiga belas.

[bersambung]

Montag, Mai 22, 2006

Sejuta Cerita Samudraraksa 3

Mengarungi Samudera Hindia: the answer my friend, is depend on the wind…

Pukul 06.00 tanggal 17 Agustus, perahu itu akhirnya angkat jangkar. Baru beberapa meter menjelang keluar Pondok Duyung, sebuah kapal besar masuk, awak perahu panik dan segera memutar arah. Pemutaran arah bagi perahu layar bukanlah masalah sederhana karena harus tahu dari mana arah datangnya angin. Ketika cobaan itu lepas, perahu pun melenggang menuju Selat Sunda. Pantai masih jelas walau makin lama makin tersamar. Pukul 23.15 hujan deras mengguyur perahu, para awak perahu segera berhambur keluar untuk berhujan-hujan. Maklum sudah beberapa hari mereka tidak sempat mandi segar. Mereka bagai anak kecil berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak, begitu tulis Niken dalam catatannya. Pontus Krook dan Paul Bayly yang terlambat bergabung kebingungan ketika sedang bersabun ternyata hujan berhenti.

Keesokan harinya, 18 Agustus, pantai Cilegon tampak jelas dari perahu. Namun, angin tiba-tiba mati. Untuk menghindari karang Kepulauan Sayangan, mereka mendayung di kiri-kanan perahu. Sebelah kiri tim Indonesia dan sebelah kanan orang bule. Semangat mendayung begitu kuat, akibatnya perahu hanya berputar ke kiri karena tim Indonesia kalah kuat. Akhirnya motor dihidupkan, arah layar dibenahi dan secara perlahan perahu bergerak. Dan, 19 Agustus perahu bercadik itu pun masuk perairan Samudra Hindia.

Dalam perjalanan menuju Seychelles ini awak perahu dibagi dalam dua kelompok, masing-masing bertugas selang empat jam. Setiap regu dibagi tugas untuk pegang kemudi, memompa air, menjaga depan, dan mencek tali-tali, memeriksa galon-galon air apakah masih terikat erat, serta memasak. Awak dari Indonesia pun dibagi ke dalam kedua kelompok tersebut. Niken dan Sherly lebih banyak bertugas sebagai penerjemah. Maklum komando dipegang Nick Burningham, pelaut asal Australia, sementara petugas yang mengendalikan perahu terutama pasang-gulung layar dan pindah layar adalah para pelaut asal Pagerungan yang tidak tahu bahasa Inggris. Kedua gadis ini ketika tugas jaga harus berlari ke depan dan belakang serta berteriak-teriak menerjemahkan perintah komandannya.

Tanggal 21 Agustus angin Samudra Hindia begitu kencang, perahu melaju dengan kecepatan rata-rata 8 knot per jam. Nick meminta Niken belajar mengemudi dan panjat tiang layar. Menurut Niken ia memang lalu belajar mengemudikan perahu, semula terasa berat, namun setelah itu menjadi biasa. Mata ke depan, sesekali melihat kompas agar arah perahu tidak melenceng. Nick sering berteriak minta agar jangan sampai lupa menengok kompas. Namun, di tengah samudra luas di mana mata memandang hanyalah cakrawala, memang membuat jenuh. Hiburan satu-satunya jika melihat di kejauhan ada kapal atau melihat ikan- ikan beterbangan di sisi perahu. Kalau sudah begitu semua berteriak, semua naik ke geladak.

Begitu jenuhnya, akhirnya Nick mengadakan sayembara: siapa yang pancingnya dapat ikan duluan akan diberi 25 dolar AS. Semua mencoba dan baru tanggal 27 Agustus Kapten Putu memenangkan pertandingan. Namun, itu pun setelah perahu diombang-ambingkan ombak setinggi sekitar 9 meter. Ombak besar itu datang tanggal 24 Agustus, terus-menerus membuat awak perahu kelelahan. Di sini kelihaian pemegang kemudi diuji. Ia harus bisa membuat perahu berada di atas ombak, jangan sampai menerjangnya. "Pada saat itu kami hanya bisa berdoa, bayangkan ombak setinggi perahu di depan kita," kenang Niken.

Ketika ombak reda dan Matahari muncul di cakrawala timur, keindahan laut pun seolah tiada duanya. "Bagus sekali, saya tak bisa menggambarkannya," ucap Mujoko. Dan, pada tanggal 1 September, setelah melihat peta, Req Hill berteriak bahwa Seychelles tinggal separuh perjalanan lagi. Awak kapal non-Indonesia kemudian berpesta untuk merayakan kesuksesan perjalan. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa walau tinggal separuh, namun semua tergantung pada arah dan kecepatan angin. Pouria Mahroueian, awak dari Afrika Selatan, menjawab keceriaan itu dengan melantunkan lagu Kansas “Dust in the Wind“ yang dipelesetkan: … the answer my friend is depend on the wind, the answer is depend on the wind. Lagu itu akhirnya menjadi lagu wajib pada saat kesepian, disamping lagu Krisdayanti “Menghitung Hari”.

Esok harinya, tali penyusur layar muka bagian bawah putus. Tali itu menjorok di luar perahu sehingga sangat sukar memperbaikinya. Julhan dengan cekatan menyusur bambu hingga di luar perahu dan menyambung tali tersebut. Sungguh pekerjaan yang mengagumkan bagi mereka yang melihat. Dalam keadaan bergoyang oleh ombak, Julhan dengan ringan meniti bambu hingga keluar perahu. Salah langkah, ia akan terpeleset dan masuk samudra. Ini untuk kedua kalinya tali putus. Sebelumnya, tali layar putus pada dini hari tanggal 26 Agustus. Maklum tali tersebut terbuat dari serat pepohonan pantai yang biasa digunakan pelaut zaman dulu.

Hujan tiada henti turun, padahal tak seorang pun yang membawa jas hujan. Menurut Niken, pada saat hujan begitu, air menembus pakaian dalam sehingga membuat orang masuk angin.

Pada tanggal 8 September, Kapten Putu ulang tahun. Awak perahu sibuk menyiapkan pesta walau seadanya, namun tetap mengharukan. Apalagi Allan Cambell, ship’s master, menyatakan bahwa pelabuhan tujuan tinggal 735 mil atau sekitar tiga hari lagi. Semua bergembira. Dan, benar, pada tanggal 12 September pukul 01.42 perahu Borobudur tiba di Pelabuhan Seychelles setelah mengarungi 3.300 mil dalam 26 hari.

Tujuh belas hari mereka berada di Seychelles. Selain untuk mengisi perbekalan, mereka menunggu kedatangan awak perahu yang baru. Di negara ini Shirley digantikan Muhammad Habibie, mahasiswa ITS Surabaya. Sementara itu, empat awak: Nick Burningham, Paul Bayly, Reg Hill, dan Pouria digantikan Corrina Gillard, Clair Armitage, Danielle Eubank, dan Richard Kruger.

[bersambung]

Sonntag, Mai 21, 2006

Sejuta Cerita Samudraraksa 2

Mimpi terwujud di Pulau Kangean

Philip dan Nick kemudian memilih As’ad Abdullah untuk mewujudkan sketsa teknis kapal Borobudur. As’ad adalah seorang nelayan tangguh dari Desa Pagerungan, Sapeken, Sumenep, Jawa Timur, dikenal sebagai jagoan pembuat kapal dan telah menyelesaikan 40 perahu layar dan 16 kapal selama 30 tahun.

Dalam proses pengerjaannya, mereka mencontoh apa yang dilakukan nenek moyang dahulu. Seluruh bagian kapal Borobudur terbuat dari kayu. Sedikitnya tujuh jenis kayu unggulan dipergunakan, yaitu kayu ulin, bungor, jati, kalimpapa, bintagor, kesambi dan nyamplong. Lama pembuatannya sekitar empat bulan enam hari dan dilakukan oleh 26 orang tanpa menggunakan sebatang pun paku atau besi. Mulai dari kerangka utama, dinding-dinding penutup, alas dek, tiang layar, tongkat kemudi, poros cadiknya, hingga dayungnya semua dari kayu. Sementara cadik ganda dan poros penggulung layar kapal terbuat dari bambu pilihan. Kayu dan bambu itu dirangkai satu sama lain dengan pasak kayu atau diikat dengan tali temali tradisional yang terbuat dari tumbuhan, yaitu sabut kelapa, serat nanas, dan ijuk. Termasuk tali untuk pengikat layar pun terbuat dari tali yang sama. Layar terbuat dari kain tetoron merek Famatex.

Dua motor masing-masing berkekuatan 22 PK ditempelkan di kiri dan kanan perahu, berfungsi untuk melakukan manuver ketika perahu hendak berangkat atau berbelok serta mendorong manakala perahu mati angin. Di bagian depan kanan, di luar perahu, terdapat "kamar mandi", yang dibuat dari beberapa bambu disilangkan untuk pijakan kaki dan tempat ember bertali, diberi sekat agar awak lain di atas perahu tak bisa menonton. Jika ombak besar datang dari arah kanan maka pengguna pasti akan basah kuyup.

Di geladak tengah ada ruang untuk istirahat, kiri-kanan perahu dipenuhi jeriken isi air bersih disamping bensin untuk persediaan generator dan motor tempel. Di palka kiri-kanan dipasang tempat tidur susun, 17 buah, begitu sempit, seolah penggunanya tak perlu berpindah posisi tidur. Di bagian belakang ditata sebagai dapur, ruang nakhoda, tempat cuci piring, pompa air, kompor, persediaan minyak, dan tempat perabot makan.

Begitulah keadaan perahu yang dicontoh dari relief Candi Borobudur yang dibuat pada abad ke-8 tersebut. Pembuatan kapal tersebut menelan biaya sekitar Rp 250 juta. Selanjutnya, untuk menyukseskan ekspedisi, kapal tradisional yang dikerjakan dengan tangan ini dilengkapi dengan sejumlah peralatan modern yaitu sistem pelacak posisi satelit global GPS, sistem radio keselamatan NavTex, sistem pengindera kedalaman echo-sounder, dan telepon satelit. Perahu berawak 16 orang multibangsa itu (Indonesia, Amerika, Swiss, Australia, Inggris, Selandia Baru, Afrika Selatan) akan berlayar ke Afrika melewati Seychelles, Madagaskar, Afrika Selatan, dan berakhir di Ghana dalam jangka empat bulan.


Petualangan dimulai

Pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden Megawati memberikan nama Samudraraksa kepada kapal Borobudur tersebut dan melepaskannya dari kawasan Marina Ancol, Jakarta, untuk memulai petualangan di Samudera Hindia dengan menempuh empat leg perjalanan. Leg adalah istilah pembagian rute perjalanan. Leg pertama dari Jakarta ke Seychelles, leg kedua Seychelles-Madagaskar, leg ketiga Madagaskar-Cape Town, dan leg terakhir atau leg keempat Cape Town-Ghana. Secara keseluruhan jarak yang ditempuh adalah 27.750 km atau sama dengan separuh keliling bumi.

Dari tujuh awak perahu dari Indonesia, tiga di antaranya berasal dari Pagerungan, tempat perahu itu dibuat. Mereka memang pelaut: Julhan, ahli mesin motor; Muhammad Abdu, pelaut berpengalaman; dan Sudirman, tukang kayu yang ikut membuat perahu tersebut. Ketiganya merupakan tulang punggung pelayaran ini. Lainnya Niken Maharani (alumni IPB), Shierlyana Junita (UI), Mujoko (alumni IPB), dan Kapten TNI-AL I.G. Putu Ngurah Sedana yang bertindak sebagai nakhodanya.

Meski sudah dilepas secara resmi oleh Presiden, kapal tersebut sebetulnya belum siap berlayar. Banyak peralatan belum dipasang selain generator listrik yang masih rusak. Dari Marina Ancol memutar masuk Pondok Duyung untuk lego jangkar. Mujoko selama dua hari berkeliling Jakarta mencari baterai untuk generator. Tanpa generator, perahu bisa "hilang" sebab alat itulah sumber listrik di perahu.

[bersambung]

Freitag, Mai 19, 2006

Sejuta Cerita Samudraraksa 1

Raksasa Samudera

Samudraraksa, itulah nama besar yang disematkan oleh Presiden Megawati kepada kapal kayu kecil yang hanya diawaki oleh 15 orang tersebut. Kapal yang dibangun dengan teknologi tradisional Nusantara itu menyusuri jalur niaga abad ke-8 Masehi yang dikenal dengan jalur kayu manis (cinnamon route), mengelilingi separuh lingkaran bumi, dari ujung barat Pulau Jawa menuju ujung barat Benua Afrika, untuk membuktikan kehebatan maritim nenek moyang bangsa Indonesia.


Membaca batu candi

Cerita petualangan ini bermula dari ketakjuban Philip Beale, pensiunan perwira angkatan laut Inggris, terhadap panel-panel relief yang menggambarkan kapal-kapal niaga di Candi Borobudur, Jawa Tengah, pada tahun 1982. Ada enam buah kapal besar dan empat kapal kecil. Kapal-kapal besar tersebut menggunakan layar dan cadik, sementara kapal yang lebih kecil hanya menggunakan dayung. Philip bepikir kapal inilah yang menjadi jembatan terapung di atas gelombang, penghubung Indonesia dan Afrika pada era awal milenium. "Seketika itu juga saya langsung bermimpi dapat membuat kembali kapal itu, dan melayarkannya menyeberangi Samudera Hindia seperti yang dilakukan pada waktu itu," tuturnya.

Ketakjuban tersebut berlanjut kepada mimpi, dan impian itu disimpan oleh Philip selama 20 tahun, hingga akhirnya ia bersua dengan Nick Burningham, di Italia, pada bulan September 2002. Nick adalah seorang arkeolog maritim berkebangsaan Australia yang menguasai teknologi kapal tradisional Nusantara. Kajian intensif dari segi teknik dan akademik pun dilakukan oleh mereka berdua untuk mewujudkan impian Philip tersebut.

Membuat kapal semirip mungkin dengan aslinya tentu tidak mudah, yang tersedia hanya relief 2 dimensi tanpa skala nyata dan minim catatan-catatan teknis. Apalagi semua relief di Candi Borobudur tersebut menggambarkan perahu yang berbeda jenisnya. Berapa ukuran sebenarnya, berapa penumpangnya, bahan apa yang dipergunakan untuk membuatnya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Philip dan Nick kemudian menelusuri jejak-jejak sejarah. Konon para pelaut Nusantara berdagang kayu manis hingga Afrika. Rute kayu manis (cinnamon route) yang mungkin mereka lalui adalah dengan menyeberangi Samudra Hindia, lewat Maldives, Madagaskar, Cape Town, lalu mencapai Ghana. Dengan perkiraan jumlah awak, jarak yang ditempuh, dan bekal yang dibawa, maka akan dapat diperoleh ukuran kapal yang dibutuhkan.

Waktu itu, tiap kapal diperkirakan membawa 20 hingga 30 awak, membawa 2 ton rempah-rempah, air 1500 liter, beras, kayu bakar dan keperluan lain hingga 8,5 ton. Tempat yang dibutuhkan untuk meletakkan barang-barang tersebut diperkirakan mencapai 13 meter kubik, ditambah 18 meter persegi untuk tempat tidur awak kapal. Perhitungan diatas didasarkan pada anggapan bahwa kapal singgah di beberapa tempat tertentu untuk menambah muatan yang habis selama perjalanan.

Berdasarkan perhitungan tersebut diatas dan berbagai pertimbangan lain, maka replika kapal Borobudur dirancang agar bisa membawa 16 orang penumpang, 1.500 liter air, 900 kg beras, 1 ton kayu bakar, 0,5 ton makanan dan bumbu, 0,5 ton barang-barang pribadi dan peralatan, serta 2 ton rempah-rempah. Dari situ pula diperoleh kapal dengan berat 30 gross ton (GT), panjang 18,29 meter, lebar 4,5 meter, dan tinggi 2,25 meter. Ukuran tersebut kurang lebih cocok dengan jumlah dayung pada relief Borobudur, dimana masing ruang dayung diperkirakan berukuran 1 hingga 1,5 meter.

Setelah memperoleh dimensi kapal, masih ada pertanyaan yang timbul: apakah kapal Borobudur memiliki dua cadik atau hanya satu, mengingat relief candi itu hanya memperlihatkan kapal dari satu sisi. Belajar dari perahu-perahu tradisional di kawasan Nusantara, maka disimpulkan perahu Borobudur bercadik ganda. Alasannya perahu bercadik tunggal biasanya memerlukan awak sebagai penyeimbang cadik. Hal itu tidak mungkin dilakukan untuk perjalanan jauh.

Ukuran cadik juga sempat jadi kebimbangan karena kebanyakan kapal memiliki cadik paling tidak sama panjang dengan badan kapal. Relief Borobudur melukiskan kapal dengan cadik yang jauh lebih pendek dari panjang kapal. Cadik tersebut bahkan mengambang dan tidak menyentuh air. Cadik semacam ini akan memiliki daya apung dan fungsi keseimbangan lebih kecil dibanding cadik panjang yang menyentuh air. Namun karena ukuran bambu yang tersedia - seperti masalah yang mungkin dihadapi kapal Borobudur zaman dulu - maka replika kapal Borobudur pun dibuat dengan cadik pendek.

Hal-hal lain yang juga harus diinterpretasikan sendiri adalah konstruksi lambung kapal, yang akhirnya ditiru dari kapal-kapal tradisional yang ada di Indonesia.

[bersambung]